Kamis, 19 April 2012

Sempu ,wista Malang selatan


Saat liburan semester ganjil saya dan teman-teman mengadakan rekreasi ke pantai Sendang Biru, yang terdapat di Kabupaten Malang. Tidak ada angkot  menuju pantai Sendang Biru, jadi kami menyewa mobil tuk menuju pantai Sendang Biru. Pantai Sendang Biru cukup jauh dari kota Malang, sekitar 2 sampai 3 jam. Jalan menuju pantai Sendang Biru berliku-liku melewati daerah pegunungan, hamparan sawah, hutan, juga rumah-rumah penduduk. Wah, ternyata di atas gunung pun ada rumah, namun yang terlihat hanya satu rumah, kira-kira penghuni rumah tersebut kesulitan atau tidak ya tinggal di atas gunung tanpa ada warung, dan jauh dari tetangga.





Pemandangan menarik ada disekeliling perjalanan kami, kami seakan sedang di atas awan, melihat rumah penduduk di lereng gunung, goresan aliran sungai memanjang indah seperti dalam lukisan. Sekitar 2 jam perjalanan kami menuju pantai Sendang Biru. Di dalam mobil banyak sekali ekspresi wajah, mulai dari ekspresi mabuk perjalanan karena medan yang berkelok-kelok, ekspresi ngantuk, ekspresi penasaran karena belum pernah ke pantai Sendang Biru, dan ekspresi menikmati indahnya hiasan bumi.

Kurang lebih pukul 09.00 WIB kami sampai di pantai Sendang Biru. Sesampainya di sana, kami langsung memakan bekal yang kami bawa. Karena kami belum sempat sarapan sebelum berangkat. Setelah makan kami menikmati sajian keindahan Pantai Sendang Biru. Pantai tersebut dikelilingi oleh pulau-pulau kecil, salah satunya adalah Pulau Sempu. Setelah itu kami bingung hendak ke mana. Hanya bermain di pinggiran pantai atau bermain di pinggiran Pulau Sempu. Lalu Mas Akhiyan kakak tingkat saya berpendapat untuk mencoba ke Segara Anakan yang berada di Pulau Sempu. Setelah itu kami melapor pada petugas Pantai Sendang Biru untuk diantar ke Segara Anakan.

Namun petugas pantai ragu melihat kostum kami yang apa adanya, yang perempuan banyak yang mengenakan rok, bersepatu pantofel, bahkan yang laki-laki ada yang mengenakan sandal jepit. Karena memang niat kami bersenang-senang, berenang-renang di laut yang asin. Sedangkan medah perjalanan di Pulau Sempu menuju Segara Anakan sangat terjal, berlumpur, hutannya masih asri. Jadi harus mengenakan sepatu yang digunakan untuk mendaki gunung, air mineral dn bekal yang cukup. Namun kami memaksa ingin melakukan perjalanan di Pulau Sempu. Akhirnya petugas pantai menyetujui dan memandu kami menuju Segara Anakan.

Untuk menuju Pulau Sempu, kami harus menggunakan perahu. Wah, indah sekali pemandangan di sekeliling Pulau sempu. Sesampainya di Pulau Sempu kami turun dari perahu dan melanjutkan perjalanan. Terlihat banyak tumbuhan mangrove di pinggiran pulau. Di sana kami bertemu dengan beberapa penjelajah lain, ada yang baru memulai penjelajahan dan ada pula yang telah berhasil kembali keluar dari huta setelah melakukan penjelajahan, sepertinya mereka yang telah keluar dari hutan adalah wisatawan asing, dan mereka terlihat lelah, bajunya lusuh penuh lumpur. Membuat kami menelan ludah melihatnya, memikirkan penjelajahan dengan simple costum tak bersepatu. Bahkan kak Edo mengenakan kemeja putih dan celana jeans cream.  “Do, mau kuliah ta?” celetuk salah satu teman kami. Semua ngakak mendengarnya. Kak Edo hanya tersenyum simpul. Lalu kami memulai perjalanan memasuki hutan Pulau Sempu.

“Hati-hati becek!” tukas pemandu perjalanan.

Memang jalannya sangat becek, karena musim hujan. Tanah tak terkena sinar matahari karena tertutupi oleh pepohonan di hutan ini. Hutannya masih alami, jadi terlihat semrawut tapi begilah yang indah. Melihat medan yang makin parah, akhirnya saya melepas sepatu pantofel yang saya kenakan. Begitu pula teman-teman yang lain, mereka lebih memilih “nyeker” alias tidak mengenakan alas kaki. Kami bergelantungan di akar-akar gantung, berpegangan di batang-batang pohon. Baru seperempat perjalanan, kami sudah merasa lelah padahal perjalanan masih jauh sekitar 2 jam lagi. Jalan yang berlumpur membuat perjalanan kami lambat. Mungkin jika kami melakukan perjalanan di Pulau Sempu saat musim kemarau lebih enak karena tanahnya kering tidak berlumpur. Kami berhenti sejenak tuk melepas lelah, kami berkenalan dengan rombongan lain, mereka datang dari Surabaya, Bandung. Wah, ternyata Pulau Sempu terkenal juga ya.

Lalu kami melanjutkan penjelajahan, lelah sekali rasanya. Kaki terasa perih tersayat-sayat terkena ranting-ranting di tanah, namun kami ingin cepat sampai.

“Ayo cepat, nanti kalau keburu sore lebih baik menginap di Segara Anakan, atau kembali dengan merayap melewati hutan” ucap pemandu.

“Waduh, ayo, Rek. Cepetan!” sahut Kak Aziz.

Kami mepercepat langkah, karena tak mungkin kami menginap di Segara anakan karena kami tidak membawa tenda, di sana tidak ada motel untuk menginap. Kami juga tak mau kembali dengan merayap di hutan. Bisa-bisa hilang, nyasar entah kemana, atau bahkan dibawa kolong wewe. Maka dari itu kami mempercepat langkah, seakan tak merasakan lelah (padahal ngempet). Dipenjelajahan ini lebih terlihat kalau teman-teman saling peduli, tidak ada yang egois memikirkan diri sendiri.

Akhirnya air berwarna hijau mulai terlihat genangannya, wah, rasanya ingin segera menceburkan diri di air. Tanda-tanda akan sampai di Segara Anakan sudah mulai terlihat, suara riuh rendah orang-orang yang bermain mulai terdengar. Medan makin terjal, banyak karang besar membuat kakiku sakit saat melewatinya. Lalu aku terperosok, perutku tertusuk ranting yang menancap di tanah. Untung tidak merobek perutku, hanya tergores sedikit tapi sakit. Yang penting aku selamat, lalu kak Aziz, kak Andriani dan  kak Dina membantuku. Kami melanjutkan perjalanan lagi. Dan akhirnya kami sampai di Segara Anakan.


Melihat airnya yang hijau jernih membuatku ingin segera membasahi tubuhku. Sesampainya di Segara Anakan kami langsung merilekskan diri di air. Nyaman sekali rasanya berendam di sana. Seakan lupa akan perjalanan di Pulau Sempu yang super melelahkan. Segara Anakan itu seperti danau yang di kelilingi tebing-tebing yang tinggi. Namun Segara Anakan bukan danau, melainkan sambungan laut selatan yang dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi.

Ada beberapa peraturan yang tidak boleh kita langgar saat melakukan penjelajahan di Pulau Sempu menuju Segara Anakan. Diantaranya tidak boleh mengucapkan kata-kata cacian/kata-kata yang tidak baik, tidak boleh mengucapkan nama hewan, harus dijaga ketertibannya, tidak boleh slenge’an/semaunya sendiri, saat di Segara Anakan tidak boleh merusak, tidak boleh berenang/bermain-main keluar dari rongga tebing menuju laut selatan. Karena menurut penjelasan pemandu di beberapa tebing terdapat goa yang biasa digunakan untuk bersemedi, nanti bisa mengganggu mereka. Jadi intinya kita bersenang-senang tanpa merusak atau mengganggu alam di sekitar kita.


Kami sampai di Segara Anakan sekitar pukul 12.00 WIB, setelah menyantap bekal karena kelaparan dan lelah,  berenang-renang ria, lalu kami melaksanakan sholat duhur di pinggir segara, di pasir putih. Beribadah di alam seperti ini rasanya berbeda dengan sholat di masjid atau di dalam ruangan.


Setelah shalat, kami bersenang-senang lagi, kami harus berenang dan menikmati keindahan Pulau Sempu dan Segara Anakan sepuas-pusanya karena waktu kami hanya sedikit, kami harus kembali lagi ke pantai Sendang Biru sebelum sore.


Jika terlambat kembali, bisa-bisa kami pulang melewati hutan Pulau Sempu dengan merayap. Saat perjalanan pulang, kami melewati jalan yang sama ketika berangkat. Melewati hutan yang lebat, jalan yang berlumpur dipenuhi ranting-ranting yang tajam, cukup sakit jika terinjak oleh kaki.

Beberapa saat kemudian, kami mendengar auman hewan buas, seperti sedang menerkam mangsanya. Langkah kami terhenti sejenak, tengak-tengok kanan-kiri. Sepertinya suara tersebut berada di semak-semak sebelah kiri kami. Lalu tanpa pikir panjang kami langsung mengambil langkah seribu. Daripada nanti bertemu dengan makhluk yang aneh-aneh.

Hari mulai sore bahkan hampir petang, namun masih banyak rombongan yang ingi menuju Segara Anakan. Mungkin mereka sengaja ingin berkemah di sana. Setiap betemu dengan rombongan yang berlawanan arah, kami selalu bertanya “masih jauh kah, Mas, Mba, Pak?” karena kami sudah tak sabar ingin cepat sampai di Sendang Biru. Semua orang bilang dekat, tapi kok gak sampai-sampai, batinku.

Tak berapa lama akhirnya kami sampai di lokasi awal turun dari perahu, akhirnya kami keluar dari hutan. Lalu perahu jemputan kami pun datang. Akhirnya kami kembali ke Sendang Biru. Setelah perahu menepi, saya dan Diah rekan saya langsung turun menuju penjual bakso. Karena lapar dan haus, kami memesan bakso dan es degan. Eummm... nikmat rasanya setelah energi terkuras habis menjelajah Pulau Sempu. Sedangkan teman-teman yang lain berhamburan menuju kamar mandi tuk membersihkan diri. Karena antrian kamar mandi panjang maka saya memilih mengisi perut saja hehe..

Setelah shalat magrib, kami melanjutkan perjalanan pulang. Keesokan harinya kaki kami yang menjelajah Pulau Sempu tanpa alas kaki terasa perih, sakit, bengkak, lecet, bahkan ada yang cantengan. Namun suatu hari saya ingin sekali kembali ke Pulau Sempu dengan mengenakan kostum penjelajah lengkap, supaya lebih menikmati alam.

Buat teman-teman yang suka berpetualang, ayo berpetualang ke Pulau Sempu! The Real Adventure ^_^

Naskah Oleh :

Btari Pratidina
Jl. Kertoleksono 60 A, Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar