Sabtu, 28 Juli 2012

Kalimat Sakti Nyuwun Sewu dari Yogyakarta


Yogyakarta memang kota yang berbudaya. Tidak ayal kota ini mendapat kota ternyaman di Indonesia. Bukan hanya karena keindahan tempat-tempat wisatanya, kulinernya, atau kerajinan dann buah tangan yang ditawarkan, tapi juga budaya yang dimiliki. Bukan sekedar budaya yang ditampilkan di tempat-tempat wisata demi memancing wisatawan, tapi budaya yang hidup dalam keseharian masyarakatnya.

Salah satu living culture yang membuat saya kagum dan betah untuk tinggal di Yogyakarta adalah sopan santun dan keramahan. Sudah menjadi suatu hal yang umum mendengar ucapan "nyuwun sewu" dan "ndelek langkung" di jalan-jalan, khususnya jalan desa, sebagai sapaan yang wajib dibalas dengan kata "monggo". Hal itu seperti sebuah kewajiban yang tertanam dalam masyarakat Yogyakarta, menyapa setiap orang bahkan yang belum dikenal.

Kelihatannya sih sepele, namun tanpa kita sadari budaya bersapa satu sama lain ini merupakan ciri khas yang menjadikan Yogya semakin istimewa, khususnya bagi wisatawan. Dengan bersapa, ada suatu keakraban yang terjalin antara masyarakat dan wisatawan. Keakraban ini menimbulkan kesan bahwa keberadaan wisatawan tersebut benar-benar dihargai sebagai seorang tamu, yang meskipun tidak dikenal, tetap dihormati dan dimuliakan. Mereka (para pelancong) tentu akan merasa lebih nyaman dan menikmati liburan mereka.

Hal ini bukan hanya dugaan dan penafsiran saya semata. Beberapa bulan yang lalu saya mengajak kawan saya dari luar negeri untuk mengelilingi beberapa kota di Pulau Jawa, termasuk ke desa saya di Sleman, Yogyakarta. Ketika perjalanan selesai, kawan saya tersebut mengaku kota terbaik yang membuatnya betah adalah Yogyakarta.

Dia mengagumi keramahan orang-orang di desa saya selama dia tinggal. Padahal kawan saya ini tidak mengerti bahasa Indonesia sama sekali, opo meneh bahasa jawa, tapi dia bisa merasakan keramahan orang-orang desa dari cara mereka tersenyum, menyapa, tertawa, ataupun mengangguk saat berpas-pasan dengannya. Dia menjelaskan, seakan-akan hanya dari gerak tubuh saja keramahan yang disajikan rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta sudah sangat terasa.

"Tidak seperti kebanyakan kota-kota lain yang pernah saya kunjungi, saya tidak merasa sebagai 'target penjualan' yang menghasilkan uang bagi mereka (masyarakat dan pedagang)," lanjutnya bersemangat. "Saya benar-benar menjadi tamu di kota ini, atau bahkan saudara yang tidak pulang. Hanya ada sedikit sekali daerah di dunia yang membuat saya merasa seperti ini."

Sedikit catatan, kawan saya ini sudah lebih dari 30 tahun berkeliling dunia, mengunjungi berbagai daerah dengan berbagai budaya yang berbeda. Tentunya kita sebagai warga Yogyakarta harus bangga bisa disebut kota yang ramah oleh pelancong yang sudah berpengalaman seperti dia. Ini merupakan kunjungan pertamanya di Indonesia, setelah sebelumnya ragu untuk datang karena termakan isu 'Indonesia sarang teroris' dan travel warning di negaranya. Semoga keramahan yang dia terima bisa sedikit banyak mengubah pandangan orang-orang di sekitarnya tentang Indonesia.

****

Saya jadi teringat hari-hari pertama saya di Yogyakarta. Setelah 14 tahun saya hidup di Ibukota Jakarta, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan SMA di DIY, tepatnya di daerah Pakem, Sleman. Hari-hari pertama saya sebelum sekolah dimulai, saya dikurung di rumah sambil dicekoki  budaya-budaya ala Yogyakarta yang belum pernah saya pelajari di Jakarta. 'Pelajaran privat' itu termasuk tata krama, unggah-ungguh, dan yang paling ditekankan, kalimat-kalimat sapaan yang sederhana.

Awalnya saya cuek, merasa sapaan tersebut bukan suatu hal yang penting. Di daerah asal saya, jarang sekali orang saling menyapa dengan orang yang tidak dikenal. Berpaspasan pun seperti acuh tidak acuh, senyum pun tidak. Hal ini sudah biasa bagi saya, jadi memang sepatutnya saya merasa agak asing dengan kebiasaan menyapa di Yogyakarta.

Namun, anggapan 'asing' itu berubah saat saya berjalan-jalan di sekitar desa. Hampir semua orang yang saya temui pasti menyapa saya, baik sapaan 'nyuwun sewu' atau hanya senyuman dan anggukan kepala. Padahal saya masih baru di desa itu, dan belum mengenal orang-orang yang menyapa saya tersebut. Saya mau tidak mau harus menjawab sapaan tersebut, dan pada akhirnya malah saya yang menyapa duluan. 

Sayangnya budaya ini sudah semakin punah, seperti yang sering terjadi di lokasi-lokasi tujuan wisata lainnya. Masuknya budaya luar yang cenderung individualis membuat keindahan budaya turun temurun ini mulai pudar. Khusunya para pendatang baru, mereka semakin meninggalkan budaya menyapa, bahkan kepada orang yang mereka kenal. Yah, saya harap budaya ini tetap bertahan di kota yang tentram ini, di tengah modernisasi yang semakin menjadi-jadi.

Memang rasanya tentram sekali kalau hidup seperti ini, saling menyapa meskipun belum kenal. Ah, tentramnya.. Eh, nyuwun sewu mas!